Mencontek ?

Mencontek dapat diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang tidak sah. Walaupun dalam hal ini kata “keberhasilan” dan “sah” masih dapat diperdebatkan. Tetapi saya mengambil logika secara umum dalam masyarakat kita. Sedangkan budaya adalah suatu produk manusia melalui proses pembelajaran. Dalam pengertian di atas terjadi pertentangan antara mencontek dalam konotasi yang negatif dan budaya dalam konotasi positif. Apakah patut kita menggandengkan kata budaya dengan kata mencontek dalam hal ini. Ketika frame of reference kita adalah fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita maka hal ini sah-sah saja.

Ujian nasional (UAN) pada tahun 2008 ini dipenuhi dengan pemberitaan yang cukup menggemparkan. Salah satunya adalah penangkapan para guru oleh Detasemen 88. Detasemen 88 yang biasa bertugas dalam aksi penangkapan teroris sekarang beralih objek kepada para guru yang melakukan “kecurangan”. Kecurangan ini adalah kegiatan memanipulasi jawaban ujian nasional murid-murid mereka. Pertanyaannya apakah para guru ini benar-benar berada pada golongan kriminalitas tinggi sehingga harus ditangani oleh pasukan khusus. Di satu sisi patut diapresiasi upaya pemerintah dalam memberangus kecurangan akademik. Tetapi di satu sisi yang lain perlu timbul pertanyaan kenapa hal seperti ini perlu terjadi. Guru-guru yang ditangkap bukan seperti halnya para joki ujian yang mendapatkan upah sampai jutaan rupiah untuk meluluskan ujian. Tetapi mereka melakukan ini semata mata untuk melihat murid-muridnya lulus ujian. Bila ditelusuri lebih jauh bahkan sudah menjadi rahasia umum bila kecurangan dalam ujian sudah menjadi hal yang biasa. Baik dalam ujian CPNS, UAN, dan lain-lain.

 Kasus kecurangan dalam ujian adalah salah satu kasus dimana kebiasaan mencontek menjadi sangat jelas untuk diamaati. Lebih jauh lagi, kebiasaan mencontek terjadi juga dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya baik mencontek pekerjaan rumah, laporan praktikum dan lain-lain. Dalam hal ini penulis merasa valid untuk mengeneralisir kebiasaan mencontek ini dari kasus dalam ujian terutama ujian nasional. Bila seseorang pelaku pencontekan ditanya tujuan mereka mencontek maka jawaban yang paling umum terjadi tentulah untuk mendapatkan nilai ujian yang baik. Ketika diberi pertanyaan lanjutan kenapa seseorang perlu mendapatkan nilai yang baik. Tentu jawabannya adalah untuk mengokohkan jalan untuk mendapatkan kesuksesan. Dalam hal ini paradigma lama dalam masyarakat kita masih terjadi. Seseorang yang sukses di sekolah maka dapat sukses juga dalam menjalani hidup. Paradigma sempit ini mendefinisikan bahwa sukses dalam hidup dengan variabel sukses di sekolah tentu saja adalah mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Tentu saja seharusnya muncul pertanyaan apakah setelah mendapatkan pekerjaan apa yang bisa dilakukan dengan berbekal pengalaman sekolahnya. Dengan penelusuran pertanyaan tersebut dapat diambil satu titik simpul permasalahan bahwa kebiasaan mencontek bermula dari sebuah konsep yang dinamakan “nilai” secara kuantitatif. Evaluasi dilaksanakan dalam rangka menilai keberjalanan sistem pengajaran maupun penilaian penetrasi kurikulum terhadap peserta didik. Secara umum sistem evaluasi dalam sebagian besar pelaksanaan pendidikan menuntut untuk pelaksanaan evaluasi kuantitatif. Dalam pandangan filosofi positivisme meyakini bahwa kebenaran hanya dapat didekati dengan metode ilmiah. Asosiasi metode ilmiah dan nilai kuantitatif sangatlah kuat.

Kenyataan di lapangan memberikan sebuah analisis bahwa sistem evaluasi yang diterapkan sekarang ini tidak memberikan celah bagi peserta didik untuk membuktikan diri sebagai “seseorang” dengan cara lain kecuali dengan mendapatkan nilai yang baik. Dalam sosiologi, salah satu motif setiap orang untuk berinteraksi adalah untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penghargaan ini harus ditempuh dengan mendapatkan nilai yang baik maka dengan itu dapat dilakukan cara apapun untuk mendapatkan nilai yang baik.

Mari kita bandingkan sistem evaluasi yang dinamakan UAN dengan sistem evaluasi yang dinamakan EBTANAS. Walaupun dalam sistem EBTANAS masih menggunakan evaluasi kuantitatif, tetapi dalam EBTANAS tidak mengenal istilah kelulusan sekolah. Walaupun seseorang peserta EBTANAS mendapatkan nilai yang minim, tetapi masih dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan anggapan buruk mengenai peserta didik yang tidak naik kelas, peserta didik yang tidak lulus ujian, maupun peserta didik yang tertinggal dalam pelajaran. Ketika masih menerapkan sistem EBTANAS, koran-koran tidak banyak dipenuhi dengan berita kontroversial seperti halnya ketika sistem UAN dilaksanakan. Inilah analisis “dangkal” untuk membuat kesimpulan bahwa sistem EBTANAS masih jauh lebih baik dari pada sistem UAN. Lebih jauh lagi ketika kita bandingkan sistem evaluasi dalam sekolah formal dengan sistem evaluasi yang diterapkan di pesantren-pesantren tradisional. Pesantren tradisional tidak mengenal pengkelas-kelasan dan justifikasi berdasarkan tingkat kecakapan santri, tetapi murni didasarkan oleh materi yang diberikan. Setiap santri berhak untuk mengikuti kelas manapun dengan tingkat kesulitan apapun dengan sekehendak santri. Pesantren pun tidak mengenal jangka waktu pengajaran ataupun jangka waktu belajar. Setiap santri berhak untuk menentukan apakah dia merasa cukup atau tidak dalam menerima sebuah materi ajar. Keunggulan pesantren tradisional dengan segala kekurangan terutama terkait kesejahteraan adalah dapat menciptakan seseorang dengan totalitas hasrat keilmuan, kesederhanaan, dan orang-orang yang dapat melebur dengan masyarakatnya.

Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan mencontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam mencontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan mencontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa mencontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin mencontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia mencontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
  
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang mencontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.

"Sstt, soal bab II, nomor 1 apa jawabannya?" Weeer ..., kertas dilempar. Seeer..., kertas ujian digeser, tulisan di meja dan bangku tampak kecil-kecil, njelimet.

Itu hanya sebagian contoh dari bentuk penyontekan. Tulisan tidak hanya dibuat di meja. Namun juga di dinding, penggaris mika, kertas yang dilipat di bawah kalkulator, tisu, telapak tangan.

Kalau diamati, orang yang menyontek memang kadang memperoleh nilai yang tinggi daripada orang yang diconteki. Jika kita memberikan jawaban, berarti kita mengajari dia untuk membodohi dirinya sendiri. Aspek lain yang muncul, siswa yang belajar sungguh-sungguh kecewa. Sebab, hasilnya malah lebih rendah dari orang yang menyontek.

  Dengan menyontek, bukan memberikan motivasi untuk belajar. Tetapi, membiarkan teman bermalas-malasan tanpa mau berusaha sendiri.

Saya kira alanglah baiknya, jika tata tertib (tatib) yang ada di sekolah juga mengatur kedisiplinan siswa termasuk menyontek. Dalam tatib tersebut, diatur bagaimana tatib melakukan ujian.

Begitu pula dengan sanksi yang akan diberikan jika ada murid yang kedapatan membawa krepekan atau sontekan. Selama ini, sanksi yang diberikan sangat ringan. Seperti mengerjakan tugas atau hukuman fisik lainnya.

Bahkan kalau ketahuan membawa contekan, paling-paling contekannya dibuang. Atau, ditegur lain kali jangan menyontek lagi. Itu saja.

Apa dampaknya? Siswa tak akan takut lagi menyontek. Paling-paling ditegur atau dibuang kertas contekannya. Akhirnya, perilaku sejenis menyontek itu terbawa saat siswa dewasa. Saat dewasa, ia punya jabatan di pemerintah, di politik, dan di BUMN. Akhirnya, yang bersangkutan suka berhobong, menipu atau mengakali anggaran untuk cari tambahan penghasilan.

Menyontek dan korupsi hampir sama nilainya. Sama-sama ingin hasil yang baik atau besar dalam waktu cepat, tanpa mau berusaha dengan jalan atau langkah sesuai prosedur. Korupsi, menipu dan berbohong dianggap biasa seperti waktu sekolah dulu.

Tak ada hukuman dan tak ada norma yang membatasinya. Jelas, dalam menyontek akan membuat siswa dan mahasiswa menjadi ‘kebal’. "Nggak apa-apa, besok nyontek lagi. Paling cuma ketahuan dan diambil kepekannya," kata seorang mahasiswa dengan bangga. Akhirnya, menyontek dianggap perbuatan biasa. Bukan hal yang memalukan dan rendah.

Ke depan sanksi bagi pelajar dan mahasiswa yang menyontek harus memberi efek jera. Artinya, jika dihukum waktu menjadi pelajar atau mahasiswa, maka ia takut untuk mengulanginya.

Mengapa menyontek?

Dalam kacamata psikologi, perilaku seseorang dipengaruhi oleh cara orang tersebut melihat faktor yang mempengaruhi kehidupannya atau yang disebut sebagai locus of control (pusat kendali).

Orang yang dominan dikendalikan pusat kendali internal mempercayai, bahwa kemajuan dalam hidup ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri.

Mereka senang bekerja keras, mempunyai cita-cita tinggi, ulet dan menganggap kemajuan dirinya disebabkan ia bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya.

Sebaliknya, orang yang lebih dominan dikendalikan faktor dari luar dirinya (eksternal) mempercayai bahwa keberhasilannya ditentukan oleh hal di luar dirinya seperti nasib baik, adanya koneksi dan bukan karena kerja keras diri sendiri.

Orang yang mempunyai pusat kendali eksternal cenderung beranggapan bahwa kerja keras, menepati waktu, bekerja penuh disiplin bukan faktor utama penyebab keberhasilan.

Untuk menghindarinya, siswa disarankan meyakini bahwa menyontek merupakan pintu gerbang dari perbuatan berbohong yang lebih besar, seperti korupsi. Selanjutnya, belajar mengenali diri sendiri dan setiap potensi yang dimiliki.

Menurut saya, untuk menghindari tindakan menyontek itu cukup mudah. Antara lain, percaya diri sendiri, hidup harus dimulai motivasi diri sendiri, belajar jangan dianggap beban, keadaan sekolah pun membuat iklim belajar yang sehat.

Tak kalah penting, perlu mengetahui penyebab siswa mempunyai kecenderungan menyontek. Dalam hal ini, sebagian besar malas belajar, belajar mendadak, materi tidak selesai dipelajari dan kurang percaya diri. Tidak sedikit pula yang ‘cemburu’.

Kelemahan guru/dosen secara tidak langsung memberi andil dalam siswa/mahasiswa menyontek. Bukan rahasia lagi bila banyak guru/dosen yang punya pekerjaan sampingan, demi kontinuitas dan kualitas ‘asap dapurnya’ karena tidak dapat mengandalkan pemasukan dari satu sektor saja.

Waktu untuk persiapan mengajar, mengoreksi pekerjaan siswa/mahasiswa, membuat soal ulangan/ujian dan tugas, memikirkan variasi pengajaran serta menyediakan alat peraga hampir tidak ada.

Belum lagi tuntutan orangtua ingin anaknya meraih prestasi tinggi. Tuntutan semacam itu dapat menimbulkan keinginan anak untuk menyontek, agar dapat nilai baik dan tidak dimarahi orangtuanya.

Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orangtua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal tapi dikerjakan dengan menyontek.

Tak ada salahnya, kita cermati pendapat Dr Syamsu Yusuf MPd N, kepala Unit Pelayanan Teknis Lembaga Bimbingan dan Konseling UPI. Menurut ia, aktivitas menyontek merupakan wujud rasa tidak percaya diri, permalasan, spekulasi, kecurangan, irasional, dll.

Tujuan belajar mendapatkan ilmu pengetahuan dan nilai baru secara apektif, kognitif, maupun motorik. Hal itu memerlukan evaluasi untuk mendapatkan report, sejauhmana proses pembelajaran telah terjadi pada seseorang.

Namun dengan menyontek, proses evaluasi menjadi kabur. Ukuran kemampuan yang tengah dievaluasi menjadi tidak jelas.

Menurut ia, selain menipu, menyontek merupakan aktivitas spekulasi yang tinggi dan suatu bentuk sikap ingin segera mendapatkan hasil yang instan.

Kebiasaan kecil ini akan mengkristal dan menjadi cara seseorang mencapai sesuatu dan mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapinya. Hal ini yang harus disadari oleh siswa didik dan pendidik, agar etos kerja pendidikan tercapai. Bila budaya instan yang terbentuk, maka rasa malas akan timbul dan membentuk sikap ingin serba mudah.

 Saat ini memang perlu penelitian untuk meyakinkan tentang dampak buruk menyontek. Namun saya yakin, semua pihak akan setuju jangan sampai sistem pendidikan kita melahirkan white collar crimers.

Mahasiswa dan Kebiasaan Mencontek

Ujian diadakan untuk mengetahui hasil dari kegiatan belajar dan mengajar selama perkuliahan, dari ujian tersebut dapat terlihat bagaimana kemampuan mahasiswa dalam menyerap materi yang disampaikan dosen dan bagaimana kemampuan untuk memecahkan suatu masalah. Tak jarang, tinggi rendahnya hasil dari ujian merupakan cerminan dari tinggi rendahnya kepintaran mahasiswa, sehingga banyak mahasiswa yang enggan dianggap bodoh sehingga melakukan banyak hal untuk mendapatkan nilai ujian setinggi-tingginya, dan termasuk dengan melakukan kecurangan.

Kecurangan yang sering dilakukan mahasiswa adalah mencontek. Mencontek merupakan usaha untuk menjawab soal ujian dengan bantuan-bantuan yang tidak diperbolehkan, dan hal tersebut sangat dekat sekali dengan mahasiswa. Bisa dilihat dari 70% mahasiswa setidaknya pernah mencontek, dengan frekuensi jarang dan kadang-kadang. "Terpaksa mencontek karena tidak paham dengan materi yang disampaikan oleh dosen," ujar salah satu mahasiswa Ekonomi yang menyatakan alasannya mengapa mencontek, dan hal tersebut mewakili 50% dari semua responden yang mencontek. Seringkali masalah proses belajar mengajar di kelas dikeluhkan oleh mahasiswa, mulai dari metode pengajaran yang membosankan, sampai penjelasan materi oleh dosen yang terlalu memusingkan. Meskipun disamping itu masih banyak pula mahasiswa yang mengaku tidak pernah atau malas belajar.

 "Perasaan ketika mencontek ya biasa saja, karena memang sudah terbiasa mencontek," jelas salah satu mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) saat ditanya perasaannya ketika mencontek, dan hal tersebut pun dirasakan oleh 30% responden lainnya, dan hanya 17% yang menyatakan merasa malu ketika mencontek, padahal sudah jelas mencontek merupakan perbuatan yang tidak baik.

Sukses atau tidaknya proses mencontek berlangsung dikarenakan oleh beberapa faktor, dan yang terbesar adalah karena faktor pengawas. "Ada pengawas yang cuma duduk-duduk saja, sehingga pengawasannya longgar dan kita mudah untuk mencontek," ungkap salah satu responden dari Fakultas Hukum (FH). Disamping itu, faktor tempat duduk pun menjadi salah satu faktor pendukung kedua setelah pengawas, dan sepertinya hal tersebut sudah disadari oleh pihak Quality Assurance Center (QAC) sehingga mengeluarkan kebijakan pengurutan dan penomeran tempat duduk di kartu ujian sejak ujian tengah semester ganjil, selain itu kebijakan tersebut memang untuk meningkatkan mutu pendidikan UMS. Namun sayang, seperti yang dikutip dari KORAN PABELAN edisi 30 tahun 5, bahwa penerapan kebijakan tersebut masih longgar di beberapa fakultas sehingga nomor kursi di kartu ujian belum maksimal.

Kreativitas mahasiswa memang sudah tidak diragukan lagi, termasuk dengan menyiapkan media atau sarana untuk mencontek. Mulai dengan menggunakan handphone dan menyiapkan catatan kecil yang bisa dibuka kapan saja di ruang ujian, namun yang dirasa paling aman adalah dengan melihat jawaban teman. "Kalau melihat jawaban teman itu lebih tenang dan aman, kalau ada razia pun tidak akan ada barang bukti," ujar salah satu responden dari Fakultas Psikologi, dan teman tersebut juga dianggap salah satu faktor yang menyukseskan usaha mencontek oleh 21% responden.

Usaha untuk mendapatkan nilai yang tinggi dengan mencontek, ternyata tidak membuat bangga dengan hasil yang didapatkan meskipun nilainya bagus, hal itu bisa dilihat dari 45% responden yang menyatakan tidak bangga ketika ditanya kebanggaannya terhadap hasil yang diperoleh dari mencontek karena dirasa bukan hasil sendiri, dan hanya 7% saja yang menyatakan sangat bangga sekali, meskipun hasil yang didapatkan tidak murni sesuai dengan kemampuan sendiri.

Ketika disinggung apakah ada keinginan untuk berhenti mencontek, 87% responden menyatakan ingin berhenti karena sadar bahwa mencontek merupakan perbuatan yang tidak baik, "kalau mencontek terus, kapan bisa pintarnya," jelas salah satu responden dari Fakultas Teknik. Sedangkan faktor yang dapat menghentikan kebiasaan mencontek adalah paham materi yang disampaikan oleh dosen di kelas, "Semoga bisa berhenti mencontek kalau dosen ngajar di kelasnya mengasyikan dan bisa bikin mahasiswa paham pada materi mata kuliah tersebut", harap salah satu responden dari Fakultas Ilmu Komunikasi dan Informatika (FKI).

Trik yang biasa digunakan untuk mencontek

1.      Memasukan kertas kecil, lalu beli pulpen biasa warnanya hitam, nach kertas tadi masukin kedalam pulpen tersebut. Dijamin tuh contekan pasti lolos masuk ke ruangan. Tinggal usaha deh, cari sela untuk buka contekannya.

2.      Trik Berikutnya cuma bisa diterapkan untuk yang berkerudung saja, [maaf bukannya mendiskreditkan yang berkerudung]. Modalnya lumayan mahal, (harus punya MP3 player). Rekam semua pelajaran lo di MP3 player. Pake apa ?? Ya pake suara lo sendiri. trus Taruh MP3 Player lo di saku depan ‘en jangan lupa pasang earphonenya di telinga lo. Trik ini biasanya berhadil kalo pengawasnya Laki-laki. Gak mungkinkan Pak pengawas nyuruh murid itu ngelepas kerudungnya.

3.      Siapin Kertas contekan di kertas HVS (tulisannya jangan terlalu kecil). Kalo cara bawa masuk keruangannya pikir sendiri ya… Nach waktu di dalem ruangan keluarin tuch contekan, taruh dibawah lembar soal. Cara nyonteknya : Abis Baca soal trus lanjutin baca contekan. Usahakan wajar waktu membaca contekannya jadi pengawas gak curiga kalo lo lagi nyontek. Dia kira lo lagi baca soal.

4.      [Khusus Cewek] Ada cara bawa masuk kertas contekan yang jitu nich. Di bagian bawah Rok kamu kan ada lipatan jahitan. berkorban sedikitlah, jahitan lipatan itu di bongkar dikit . Nach selipin tuch kertas contekan di bagian lipatan bawah rok lo. tapi cara ngambilnya dan nyonteknya cari sendiri ya…

5.      [Yang ini pake usaha dikit] Saat ujian nantikan semua peserta membawa alas papan (lupa nich namanya). Belah dulu papan itu jadi dua, lalu rekatkan lagi bagian pinggir-pinggirnya saja. nach bagian tengah yang gak di rekatkan itu bisa untuk nyelipin contekan masuk kedalem ruangan.

6.      Siapkan 1 Kotak Pensil (bagus lagi kalo bekas tinta printer yang mereknya data print). Disarankan yang transparan non kecurigaan, buatlah CK tadi dengan diketik di ms.word, arial, font size 7, sesuaikan dengan ukuran kotak pensilmu, setelah selesai diketik, print aja kalo bener2 udah sesuai ama CK, gunting sesuai dengan ukuran kotak pensil, tempelkan dengan double tape di bagian dalam kotak pensil tadi agar memudahkan kita melihat C, sebelumnya dijepret dulu bagian bawah CK tadi, agar kelihatan rapi dan seperti buku mini yg mudah dibawa kemana – mana maka jadilah sebuah kerpekan universal yang dapat dinikmati oleh semua golongan.

7.      Jangan sampe ketauan! Kalo mau masa depan loe sukses, hati-hatilah dalam menyontek. Menurut riset para ahli *gw sendiri maksudnya!!!* kalo loe menemui kesulitan, misalnya dapet tempat duduk di depan, loe harus tetep tenang man… Kalo perlu, bawa kertas sendiri aja dari luar, jadi kalo loe rada parno bwat nyontek, tinggal oper kertas aja ke partner loe. Kalo pengawasnya mulai ngeliatin loe *plus tindakan kedip-kedip genit mata* kedipin balik aja buahahahakakak!!

8.      Kalo niat loe ngebet, bukan nyontek, mesti ati-ati pas bawa kebetan loe. Kalo kebetulan tempat duduk loe deket jendela en jendelanya kagak dikunci, masukin aja duluan kebetannya, biar kagak ketauan en ngurangin resiko bahaya bagi jiwa dan ragamu..Jangan sampe loe diserang panu kadas kurap kutu air karna ngebet..
9.      Kalo loe punya jiwa setia kawan + berani bin nekat + sohib sejati di ruang berbeda dari loe, kalo mo ngasi contekan ke temen loe itu, taro di kamar mandi aja!! Biar sama kaya gw nanti.. Yaaa, jelas, itu gw lakuin sebagai bentuk kesetiakawanan Sosial Nasional….

10.  Berdoalahhh… karena kesuksesan gw selama ini, juga karena doa,, hahahahakkkk!!! Terbukti banget tuh, gw belom pernah ditegor sekalipun ama pengawas sekiller apapoen waktu strategi berjalan… Dari TK juga kita dah diajarin bwat berdoa kan, tiap mau ngapa-ngapain??

11.  Catat hal-hal yang penting di selembar tisu. Lipat lagi menurut garis lipatannya. Bahan contekan udah siap digunakan. Nah! Cara ini adalah cara yang paling aman untuk mencontek. Soalnya, cara menconteknya gak mencolok, cuma dengan cara berpura-pura mengelap keringat lo dengan tisu, kamu bisa melirik jawaban yang udah dicatet di tissue tersebut. Easy banget kan?

12.  Salah satu kegiatan yang paling umum dan yang paling mudah dilakukan dalam mencontek adalah memasukkan buku di kolong meja, dan menariknya apabila telah ada kesempatan untuk mencontek. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah: sebelum ulangan dimulai, buka buku di bagian bab yang diujikan. Masukkan buku ke dalam kolong tanpa menutup halaman. Pada saat ulangan, lihat situasi dulu. Jika guru udah jauh dari meja lo duduk, lo boleh menarik buku lo keluar, dan bebas mencontek. Jika guru mendekat, masukkan bukumu ke kolong meja dengan cepat. Tapi jangan tergesa-gesa. Bisa jadi buku lo jatuh, dan guru akan semakin curiga dengan kamu. Jadi be careful!!!

Tips Menghilangkan Kebiasaan Mencontek

Tingkatkan kepercayaan diri, dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, maka kita tidak akan mau melihat hasil orang lain.

Perbanyak pengetahuan, dengan tingkat pengetahuan yang tinggi maka kita akan lebih percaya terhadap diri sendiri dan tidak akan mau mencontek.

Lawan rasa malas, memang sungguh sulit untuk mengusir rasa malas yang ada pada diri bagi orang yang pada awalnya telah terbiasa dengan bermalas-malasan, namun apabila telah memulai untuk rajin belajar maka lama-kelamaan kita akan mempunyai kebiasaan untuk terus belajar sehingga kinerja otak kita terus terasah.

Kurangi kuantitas mencontek, apabila biasanya dalam ulangan kita banyak mencontek, maka kita kurangi dengan mencontek setengah demi setengah. contoh: setiap ulangan rata-rata kita mencontek 15 soal pg, kita kurangi setengahnya pada ulangan berikutnya jadi hanya mencontek 8 soal, kemudian terus kurangi sampai mencapai 1 soal dan dari sana kita bisa menghilangkannya.

Buatlah jadwal kegiatan, kita bisa menjadwal kegiatan kita sehari hari dari mulai kita bangun sampai kita istirahat, sehingga anda tidak akan dibingungkan oleh tumpukan tugas yang belum selesai.

Tingkatkan kedisiplinan, anda pasti telah sering mendengar kata “Disiplin kunci keberhasilan”, maka dari itu disiplinlah dalam menjalankan jadwal kegiatan.

Mulailah secepatnya, apabila anda ingin menghilangkan kebiasaan mencontek anda tidak boleh menunda-nunda waktu, karena apabila terus menunda-nunda semua tugas akan menumpuk dan itu menyebabkan suatu kemalasan dalam mengerjakan semua tugas.

Comments

Popular Posts